Perusahaan teknologi raksasa asal Amerika Serikat, Microsoft, dilaporkan mengalami penurunan pendapatan hingga Rp 51,6 triliun (sekitar 3,2 miliar dolar AS) dalam laporan keuangan kuartal terakhir tahun 2025.
Yang menarik, salah satu penyebab terbesar kerugian tersebut justru berasal dari OpenAI — perusahaan di balik ChatGPT, yang selama ini juga menjadi mitra utama Microsoft dalam pengembangan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Kondisi ini mencerminkan dinamika baru di industri AI global: kolaborasi strategis yang begitu erat bisa saja menimbulkan dampak finansial yang tidak terduga, bahkan bagi raksasa sebesar Microsoft.
Daftar Isi:
Investasi Besar di OpenAI Belum Balik Modal
Seperti diketahui, Microsoft telah berinvestasi lebih dari 13 miliar dolar AS ke OpenAI sejak 2019.
Investasi tersebut dilakukan melalui kombinasi dukungan infrastruktur Azure, lisensi eksklusif model AI (seperti GPT-4 dan GPT-5), serta penempatan sistem AI ke berbagai produk Microsoft, termasuk Copilot, Bing Chat, dan Office 365.
Namun menurut laporan keuangan terbarunya, divisi cloud and AI partnerships mencatat beban operasional yang tinggi akibat meningkatnya biaya komputasi, riset model AI, dan pemeliharaan server yang digunakan oleh OpenAI.
Analis keuangan memperkirakan bahwa sebagian besar “penguapan” pendapatan Microsoft setara dengan sekitar 4% dari total laba bersih kuartalan perusahaan.
“Investasi Microsoft di OpenAI adalah strategi jangka panjang. Tapi dalam jangka pendek, efek biaya infrastruktur AI sangat besar dan belum diimbangi dengan pendapatan yang sepadan,”
ujar Daniel Ives, analis dari Wedbush Securities, dikutip dari CNBC.
Dampak dari Penggunaan Azure untuk OpenAI
Salah satu faktor utama penyebab penurunan pendapatan Microsoft adalah lonjakan biaya operasional pada Azure, layanan komputasi awan miliknya yang kini menjadi tulang punggung sistem AI OpenAI.
Setiap kali pengguna mengakses ChatGPT, DALL·E, atau GPT Store, beban pemrosesan data secara otomatis dialirkan melalui pusat data Azure.
Hal ini membuat konsumsi energi dan kebutuhan GPU meningkat drastis, sementara pendapatan langsung dari OpenAI belum menutup biaya tersebut.
Laporan internal juga menunjukkan bahwa biaya lisensi dan penyediaan chip NVIDIA H200 dan AMD Instinct MI300X untuk mendukung inferensi AI naik hampir 40% dibanding tahun lalu.
Dengan kata lain, kolaborasi yang seharusnya saling menguntungkan justru menimbulkan “beban struktural” baru pada sisi operasional Microsoft.
ChatGPT Premium dan Copilot Belum Mampu Menutupi Kerugian
Meski produk AI berbasis OpenAI seperti Microsoft 365 Copilot dan ChatGPT Plus telah meraih popularitas besar, kontribusi pendapatan dari produk-produk ini masih terbatas.
Microsoft Copilot, misalnya, baru diadopsi oleh sekitar 13% pengguna aktif Office 365, sementara ChatGPT Plus menyumbang kurang dari 1 miliar dolar AS per kuartal.
Angka ini belum cukup untuk menutupi biaya riset dan pengembangan AI berskala global.
Selain itu, OpenAI juga belum sepenuhnya memberikan return on investment (ROI) yang signifikan bagi Microsoft karena sebagian besar hasil pendapatannya masih dialokasikan untuk ekspansi server dan model baru seperti GPT-5 Turbo serta Atlas Browser AI.
Tantangan dalam Bisnis AI Generatif
Menurut laporan Financial Times, bisnis AI generatif saat ini masih berada pada fase “biaya tinggi, profit rendah”.
Perusahaan seperti Microsoft, Google, dan Amazon harus mengeluarkan miliaran dolar untuk menjalankan dan melatih model AI besar, sementara monetisasi masih bergantung pada langganan premium yang relatif kecil.
Selain itu, munculnya pesaing baru seperti Anthropic (Claude), xAI (Grok) milik Elon Musk, dan Google Gemini juga membuat pasar AI semakin kompetitif.
Microsoft, meski menjadi pionir dalam integrasi AI di produk-produk produktivitas, kini harus bersaing dalam mempertahankan efisiensi biaya operasional dan margin laba bersihnya.
“AI adalah masa depan Microsoft, tapi masa depan itu datang dengan harga yang sangat mahal,”
tulis laporan analis Morgan Stanley.
Strategi Microsoft ke Depan
Sebagai respons terhadap situasi ini, CEO Microsoft Satya Nadella menyatakan bahwa perusahaan akan melakukan efisiensi skala besar di sektor data center dan chip AI internal.
Salah satu langkah konkretnya adalah mempercepat pengembangan chip AI buatan sendiri, Azure Maia dan Azure Cobalt, agar tidak sepenuhnya bergantung pada NVIDIA.
Selain itu, Microsoft juga berencana meningkatkan monetisasi layanan Copilot dengan paket korporat baru dan mengintegrasikan fitur AI langsung ke dalam Windows 12, yang akan meluncur pertengahan 2026.
Langkah-langkah ini diharapkan bisa menyeimbangkan beban biaya AI dengan pertumbuhan jangka panjang.
Dampak terhadap Industri Teknologi Global
Kasus ini menjadi contoh nyata bahwa era kecerdasan buatan tidak hanya membawa potensi keuntungan, tetapi juga risiko finansial besar.
Microsoft, yang selama ini dianggap “pemenang utama revolusi AI”, kini harus menanggung konsekuensi biaya superkomputasi dan riset yang sangat tinggi.
Meski demikian, para analis tetap optimistis bahwa investasi ini akan terbayar dalam 3–5 tahun ke depan, seiring meningkatnya adopsi AI di sektor bisnis, pendidikan, dan pemerintahan.
“Apa yang terjadi pada Microsoft hari ini adalah investasi masa depan.
Ketika ekosistem AI matang, mereka akan berada di posisi terdepan,”
ungkap Gina Raimondo, Menteri Perdagangan AS, dalam forum AI for the Future 2025.
Kesimpulan
Penurunan pendapatan Microsoft hingga Rp 51,6 triliun akibat OpenAI bukanlah tanda kegagalan, melainkan bagian dari siklus investasi besar di era kecerdasan buatan.
Perusahaan ini tengah berada di fase membangun fondasi jangka panjang — baik dari sisi infrastruktur, perangkat lunak, maupun ekosistem AI global.
Dengan kemampuan inovasi dan sumber daya yang dimiliki, Microsoft diprediksi akan tetap menjadi pemain dominan,
namun harus menemukan keseimbangan antara ambisi AI dan realitas finansial.















