Pemerintah China menuduh Amerika Serikat telah melakukan serangan siber besar-besaran terhadap beberapa sektor vital negaranya. Beijing menyebut aksi ini merupakan bagian dari operasi spionase digital yang menargetkan infrastruktur strategis, mulai dari energi, transportasi, hingga lembaga pemerintahan.
Tuduhan ini disampaikan langsung oleh Pusat Koordinasi Insiden Keamanan Siber Nasional China (CNCERT) dan Laboratorium Keamanan Qihoo 360, yang mengklaim memiliki bukti kuat terkait serangan tersebut.
Menurut laporan resmi, serangan itu dilakukan oleh unit peretasan yang diduga berafiliasi dengan lembaga intelijen Amerika Serikat, khususnya National Security Agency (NSA).
Daftar Isi:
Laporan Resmi: Serangan Terkoordinasi ke Infrastruktur Strategis
Dalam laporannya, CNCERT menyebut serangan siber yang dilakukan pihak AS menyasar sistem komunikasi dan jaringan data milik sektor energi dan transportasi publik. Beberapa server penting di wilayah timur dan selatan China dikabarkan telah mengalami gangguan, meski tidak sampai menimbulkan kerusakan besar.
Serangan ini disebut berlangsung secara terkoordinasi dan berulang selama beberapa bulan terakhir. Beijing menilai hal itu bukan insiden acak, melainkan operasi sistematis yang dirancang untuk mengumpulkan data sensitif dan memetakan jaringan pertahanan digital China.
“Bukti teknis menunjukkan bahwa sejumlah alat peretasan yang digunakan identik dengan yang pernah dikaitkan dengan NSA dan mitra intelijen Amerika,” tulis laporan resmi Qihoo 360.
Teknologi Serangan Diduga Gunakan Alat NSA
China menuding bahwa peretas menggunakan alat mata-mata siber seperti “Second Date” dan “Quantum Insert”, dua perangkat yang dikembangkan oleh unit elit NSA yang dikenal dengan nama Equation Group. Perangkat ini diklaim mampu menyusup ke router dan server besar, mencuri data, dan bahkan mengubah lalu lintas jaringan untuk memantau aktivitas secara diam-diam.
Menurut laporan yang sama, beberapa sistem di China menunjukkan pola aktivitas dan jejak kode sumber yang identik dengan perangkat lunak NSA yang bocor melalui skandal Shadow Brokers pada 2017.
CNCERT juga menambahkan bahwa serangan-serangan tersebut tidak hanya bersifat pengintaian, tetapi berpotensi melumpuhkan sistem layanan publik jika dieksekusi lebih jauh.
Amerika Serikat Belum Berikan Tanggapan Resmi
Hingga berita ini ditulis, pihak pemerintah Amerika Serikat belum memberikan pernyataan resmi mengenai tuduhan tersebut. Namun, sejumlah media Barat menyebut tudingan ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan digital antara Washington dan Beijing, terutama setelah AS menuduh China melakukan serangan siber terhadap perusahaan teknologi Amerika seperti Microsoft dan Cisco.
Pejabat AS selama ini menolak klaim keterlibatan NSA, dengan alasan bahwa “semua kegiatan siber Amerika dilakukan untuk tujuan keamanan nasional, bukan spionase ekonomi.”
Sementara itu, analis keamanan internasional menilai tudingan ini menunjukkan perang siber global kini masuk babak baru dari sekadar pencurian data menjadi bentuk tekanan geopolitik antarnegara besar.
China Serukan Regulasi Internasional untuk Dunia Siber
Sebagai tanggapan, China mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memperkuat kerangka hukum internasional dalam mengatur aktivitas dunia maya. Beijing menegaskan bahwa tidak ada negara yang berhak menggunakan teknologi digital sebagai senjata untuk mengintervensi urusan internal negara lain.
Dalam konferensi pers di Beijing, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, mengatakan bahwa dunia membutuhkan sistem kerja sama global untuk menghindari konflik di ruang siber.
“Serangan siber terhadap sektor vital bukan hanya ancaman bagi keamanan nasional, tetapi juga bagi stabilitas ekonomi dunia,” ujarnya.
Perang Siber Amerika vs China: Ketegangan Lama yang Memanas
Tuduhan ini bukan pertama kalinya. Selama beberapa tahun terakhir, AS dan China kerap saling menuduh melakukan aksi peretasan dan pengintaian digital.
- Pada 2021, AS menuduh kelompok peretas yang didukung pemerintah China melakukan serangan besar terhadap sistem email Microsoft Exchange.
- Sebaliknya, China menuding AS menjadi “negara paling agresif di dunia maya” karena operasi intelijen NSA yang tersebar di lebih dari 80 negara.
Para pengamat menilai eskalasi terbaru ini bisa memperburuk hubungan kedua negara, terutama di tengah persaingan mereka dalam teknologi AI, semikonduktor, dan jaringan komunikasi 5G.
“Perang siber kini menjadi dimensi keempat dari persaingan global, setelah ekonomi, militer, dan diplomasi,” kata analis keamanan digital, Dr. Li Feng dari Shanghai Institute of Technology Policy.
Dampak terhadap Stabilitas Regional dan Dunia Teknologi
Ketegangan digital antara AS dan China berpotensi memengaruhi ekosistem teknologi global, termasuk rantai pasokan semikonduktor dan keamanan data lintas negara. Jika konflik ini berlanjut, banyak perusahaan teknologi multinasional bisa terdampak karena kedua negara memegang peran besar dalam infrastruktur digital dunia.
Indonesia dan negara-negara ASEAN juga berpotensi terdampak, terutama jika eskalasi ini memengaruhi akses data, keamanan cloud, dan sistem komunikasi internasional.
Kesimpulan
Tuduhan China terhadap Amerika Serikat menandai babak baru dalam perang siber global. Meski belum ada konfirmasi dari pihak AS, laporan teknis yang dirilis otoritas siber China menunjukkan bahwa konflik di ruang digital kini bukan lagi sebatas rumor, melainkan arena kompetisi kekuasaan antarnegara besar.
Dunia kini menghadapi tantangan baru: menjaga keseimbangan antara keamanan digital, kedaulatan data, dan stabilitas politik global di tengah era kecerdasan buatan yang semakin dominan.















