Fenomena drama asal Tiongkok (C-drama) tengah mencetak sejarah baru di dunia hiburan digital. Tak hanya mendominasi layanan streaming seperti iQIYI dan WeTV, kini drama China juga merajai media sosial seperti TikTok, YouTube, dan Xiaohongshu (Little Red Book), hingga menciptakan ekosistem bisnis bernilai lebih dari Rp 132 triliun.
Laporan terbaru dari lembaga riset industri hiburan Beijing Cultural Analytics menyebutkan, nilai pasar short drama dan social drama di Tiongkok melonjak hampir tiga kali lipat dibanding tahun lalu, didorong oleh tren video pendek dan konten “potongan serial” yang mudah dikonsumsi.
Daftar Isi:
Dari Layar Lebar ke Layar Ponsel
Perubahan besar ini terjadi karena perilaku penonton yang bergeser. Jika dulu masyarakat menonton drama lewat televisi atau platform streaming panjang, kini banyak yang memilih drama singkat berdurasi 1–3 menit per episode, yang disajikan langsung di media sosial.
Format pendek itu dikenal dengan sebutan “mini drama” atau “short drama series”, dan telah menjadi industri besar di Tiongkok. Produksinya cepat, biayanya murah, namun dampaknya luar biasa karena mampu menjangkau jutaan penonton dalam waktu singkat.
“Masyarakat sekarang ingin hiburan instan. Dalam tiga menit mereka ingin emosi, konflik, dan resolusi,” ujar Li Meng, analis media digital dari China Media Observatory.
Popularitas di TikTok dan Xiaohongshu
Salah satu pendorong utama tren ini adalah platform TikTok (Douyin di Tiongkok). Aplikasi milik ByteDance itu kini memiliki lebih dari 750 juta pengguna aktif di Tiongkok, dan lebih dari separuhnya menonton drama mini setidaknya tiga kali seminggu.
Sementara di platform Xiaohongshu, drama China versi romantic slice-of-life menjadi kategori yang paling banyak diunggah ulang, dengan tagar populer seperti #CDramaLover dan #ShortSeriesLife yang menembus 20 miliar tayangan.
Tidak sedikit pula konten kreator yang mengadaptasi kisah dari drama besar menjadi versi singkat dengan gaya vlog, misalnya “cerita lanjutan” atau “versi POV pemeran utama” yang membuat serial tersebut viral lintas platform.
Ekonomi Kreator Tumbuh Pesat
Ledakan popularitas ini turut mendorong industri kreator dan influencer di Tiongkok. Ribuan studio kecil kini memproduksi drama berskala mikro hanya dengan modal Rp 50 juta–100 juta per proyek, namun bisa menghasilkan pendapatan miliaran rupiah melalui sponsor, product placement, dan gift virtual.
Menurut riset China Online Video Market 2025, pendapatan dari drama pendek di media sosial kini mencapai 61,8 miliar yuan atau sekitar Rp 132 triliun. Sektor ini bahkan tumbuh lebih cepat dibanding industri film konvensional.
Beberapa perusahaan besar seperti Tencent Video, Mango TV, dan iQIYI mulai menanamkan investasi besar di kategori ini, karena menyadari bahwa penonton muda (Gen Z dan milenial) lebih aktif menonton melalui ponsel dibanding layar televisi.
Karakteristik Unik Drama China Versi Media Sosial
Drama Tiongkok di media sosial punya ciri khas yang membedakannya dari drama panjang di platform streaming:
- Durasi sangat singkat — rata-rata 2–5 menit per episode, total 50–100 episode per musim.
- Plot padat dan cepat berkembang — setiap detik berisi konflik atau momen emosional.
- Tema ringan dan relatable — seperti kisah cinta, perjuangan kerja, keluarga, atau kehidupan urban.
- Kamera vertikal (9:16) — disesuaikan dengan format ponsel untuk pengalaman menonton natural.
- Interaktif — penonton bisa berkomentar, voting, bahkan menentukan akhir cerita.
Bentuk storytelling yang cepat dan interaktif ini membuat penonton lebih terlibat dan lebih mudah membagikan konten tersebut ke jaringan sosial mereka.
Dampak ke Luar Negeri: C-Drama Go Global
Popularitas drama pendek asal Tiongkok kini merambah ke pasar internasional. Banyak video dengan teks terjemahan bahasa Inggris, Indonesia, dan Arab beredar luas di TikTok global, YouTube Shorts, hingga Reels.
Beberapa seri seperti “Sweet Boss, Don’t Go!” dan “My Contract Boyfriend” menjadi viral di Asi Tenggara, termasuk Indonesia, berkat gaya visual dan akting ringan khas drama modern Tiongkok.
Hal ini sekaligus membuka peluang bagi produser lokal untuk berkolaborasi membuat short drama internasional, dengan biaya produksi rendah tapi daya jangkau sangat besar.
Tantangan: Kualitas dan Regulasi
Namun di balik kesuksesan besar, ada pula tantangan yang dihadapi industri ini. Karena produksi drama pendek tergolong cepat, standar kualitas cerita dan etika produksi sering kali terabaikan.
Badan regulator media Tiongkok (NRTA) bahkan sudah mengeluarkan aturan baru yang melarang konten drama menampilkan kekerasan berlebihan, tema vulgar, atau manipulasi emosional ekstrem demi klik dan penonton.
Selain itu, meningkatnya tren AI-generated drama (drama buatan kecerdasan buatan) juga memunculkan kekhawatiran akan hilangnya lapangan kerja bagi penulis dan aktor manusia.
Analisis: Kombinasi AI dan Kreativitas
Beberapa studio kini memanfaatkan AI generatif seperti Gemini dan Tongyi Qianwen untuk menulis naskah dan membuat konsep visual awal. Hal ini membuat produksi lebih efisien tanpa mengorbankan ide kreatif.
Menurut pengamat teknologi hiburan Chen Yao, masa depan drama China ada di integrasi AI, data pengguna, dan storytelling manusia.
“AI membantu merancang cerita yang relevan dengan tren, tapi sentuhan emosi manusia tetap kuncinya,” ujarnya.
Kesimpulan
Fenomena drama China di media sosial membuktikan bahwa kreativitas tidak harus datang dari produksi besar-besaran. Dengan durasi singkat, cerita padat, dan strategi distribusi yang tepat, konten lokal bisa menembus pasar global dan menciptakan nilai ekonomi triliunan rupiah.
Kini, industri hiburan Tiongkok sedang memasuki fase bau, di mana drama digital, media sosial, dan kecerdasan buatan saling terhubung menciptakan revolusi dalam cara orang menikmati hiburan.
Dari layar kecil ponsel, drama pendek asal China telah menjelma menjadi kekuatan besar di panggung global.















