Raksasa teknologi Google mengambil langkah besar dalam dunia energi.
Perusahaan yang dikenal dengan mesin pencarinya ini secara resmi menghidupkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) untuk mendukung kebutuhan energi luar biasa dari sistem kecerdasan buatan (AI) miliknya.
Langkah ini menandai babak baru dalam hubungan antara teknologi digital dan energi bersih — di mana Google menjadi salah satu perusahaan pertama di dunia yang memanfaatkan reaktor nuklir kecil (SMR – Small Modular Reactor) sebagai sumber daya utama untuk infrastruktur AI dan pusat datanya.
Daftar Isi:
Kebutuhan Energi AI yang Kian Tak Terkendali
Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan AI generatif seperti Gemini, ChatGPT, dan Claude membuat permintaan energi komputasi melonjak tajam.
Google sendiri melaporkan bahwa konsumsi listrik pusat datanya meningkat lebih dari 40 persen dalam dua tahun terakhir, sebagian besar karena beban kerja AI yang berat.
Setiap kali pengguna meminta hasil pencarian, menerjemahkan bahasa, atau menggunakan fitur seperti Google Photos AI dan Bard (Gemini), sistem di belakang layar membutuhkan jutaan perhitungan GPU yang memakan energi besar.
“AI adalah masa depan, tetapi tanpa energi bersih dan stabil, masa depan itu tidak berkelanjutan,”
kata Urs Hölzle, Senior Vice President Google untuk Infrastruktur Teknis.
Mengapa Google Memilih Tenaga Nuklir
Google memutuskan untuk menggandeng perusahaan energi Oklo, startup nuklir yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Sam Altman (CEO OpenAI).
Oklo mengembangkan reaktor modular kecil dengan kapasitas di bawah 50 megawatt, cukup untuk memberi daya pada ribuan server AI di satu kampus data center.
Berbeda dengan PLTN konvensional, reaktor modular generasi baru ini:
- Lebih kecil dan efisien,
- Tidak membutuhkan air pendingin dalam jumlah besar,
- Menghasilkan limbah radioaktif jauh lebih sedikit,
- Dan bisa beroperasi otomatis hingga 10 tahun tanpa pengisian ulang bahan bakar.
Google menilai teknologi ini jauh lebih stabil dibandingkan energi terbarukan seperti matahari dan angin, yang masih bergantung pada cuaca.
Dengan tenaga nuklir, pusat data AI bisa bekerja 24 jam tanpa gangguan, menjamin stabilitas komputasi tinggi untuk layanan berbasis AI di seluruh dunia.
Proyek Nuklir Google Dimulai di Amerika Serikat
Proyek perdana ini dijalankan di Ohio, Amerika Serikat, di dekat fasilitas data center Google Cloud.
Pembangkit reaktor mini itu diklaim sudah mulai beroperasi sebagian sejak awal Oktober 2025, dengan target kapasitas penuh tercapai pada awal 2026.
Energi yang dihasilkan akan digunakan untuk menggerakkan:
- Model AI generatif Gemini,
- Sistem analitik Google Cloud,
- Infrastruktur komputasi kuantum,
- Dan pusat pelatihan AI berskala besar yang sedang dikembangkan Google DeepMind.
“Kami ingin menunjukkan bahwa teknologi masa depan bisa berjalan seiring dengan keberlanjutan energi,”
ujar Thomas Kurian, CEO Google Cloud.
Bagian dari Komitmen Net-Zero Google
Sejak 2020, Google telah berkomitmen untuk mencapai net-zero carbon pada 2030.
Namun, beban komputasi AI yang meningkat membuat target ini semakin sulit dicapai.
Dengan tenaga nuklir, Google berharap dapat menekan emisi karbon hingga 70 persen lebih rendah dibandingkan menggunakan energi fosil.
Selain itu, reaktor modular dianggap solusi jangka panjang karena tidak membutuhkan lahan seluas pembangkit energi terbarukan.
“Kita tidak bisa menunggu solusi energi masa depan datang sendiri.
Kami menciptakannya sekarang — untuk AI dan planet ini,”
tulis Google dalam pernyataan resminya.
Kritik dan Kekhawatiran
Meski dianggap sebagai inovasi besar, keputusan Google ini juga memunculkan sejumlah kontroversi dan kritik.
Beberapa aktivis lingkungan berpendapat bahwa penggunaan tenaga nuklir tetap memiliki risiko, seperti:
- Kemungkinan kebocoran radiasi,
- Masalah pembuangan limbah jangka panjang,
- Dan risiko keamanan siber jika sistem reaktor dihubungkan dengan jaringan data center global.
Namun, Google menegaskan bahwa reaktor modular milik Oklo telah melewati uji keselamatan dari U.S. Nuclear Regulatory Commission (NRC) dan memiliki sistem pengamanan otomatis yang bekerja bahkan jika terjadi gangguan teknis.
Tren Baru di Dunia Teknologi
Langkah Google ini diperkirakan akan mendorong perusahaan teknologi lain mengikuti jejak serupa.
Beberapa raksasa seperti Microsoft, Amazon, dan Meta juga dikabarkan sedang menjajaki kerja sama dengan startup nuklir untuk mendukung infrastruktur cloud dan AI mereka.
Analis dari Bloomberg Tech menilai bahwa masa depan AI bergantung pada revolusi energi.
Tanpa sumber energi bersih yang konsisten, perkembangan AI akan terhambat oleh biaya operasional yang sangat besar.
“Data adalah otak, AI adalah pikirannya, dan energi adalah jantungnya,”
tulis analis teknologi Alex Hern.
Kesimpulan
Google kembali menunjukkan langkah progresif dengan mengaktifkan pembangkit listrik tenaga nuklir untuk AI.
Terlepas dari pro dan kontra, proyek ini memperlihatkan bahwa masa depan kecerdasan buatan tak hanya bergantung pada inovasi algoritma, tetapi juga pada inovasi energi.
Jika berhasil, langkah Google dapat menjadi pionir era baru AI berkelanjutan, di mana pusat data masa depan tidak lagi menjadi ancaman bagi lingkungan, melainkan bagian dari solusi energi hijau global.















