Worldsbeyondnft.com – Trailer film animasi Merah Putih: One For All memicu kontroversi setelah netizen melihat adegan yang menampilkan senjata api — terutama senapan laras panjang seperti AK-47 di latar balai desa. Adegan ini langsung menjadi bahan kritik, karena dinilai tidak pantas untuk film anak-anak yang mengusung tema nasionalisme dan semangat kebersamaan.
Daftar Isi:
Produser Klarifikasi: Itu Bukan Senjata Asli, Melainkan Properti Peringatan Kemerdekaan
Menanggapi sorotan masyarakat, sang produser sekaligus sutradara Endiarto memberikan penjelasan bahwa senjata tersebut hanyalah properti panggung, bukan senjata asli atau berbahaya. Ia menjelaskan bahwa adegan itu menggambarkan persiapan pentas malam peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, sehingga senjata api tersebut berfungsi sebagai atribut drama yang dimainkan oleh tokoh yang menyamar sebagai tentara Belanda.
Model Gudang Senjata yang Diambil dari Situs Aset 3D Online
Lebih lanjut, terlihat bahwa model dari gudang yang memuat senjata api di trailer tersebut ternyata diambil dari aset 3D stok online. bukan hasil karya orisinal. Model bernama FG Military Warehouse tersedia di situs Daz3D.com dan dijual dengan harga promo sekitar USD 11,48 (sekitar Rp 187 ribuan). Model ini memuat berbagai peralatan militer fiktif seperti senapan M16, M4, dan AK-47.
Reaksi Publik: Dari Kritikan hingga Sindiran Pedas
Respons publik terhadap adegan ini beragam: sebagian bernada kecewa dan menyayangkan buruknya kontrol kualitas produksi. Banyak yang menyindir bahwa film ini tampak seperti “proyek asal jadi” atau bahkan “tugas sekolah yang dijual mahal.” Simpati berubah jadi cemooh, karena film yang seharusnya mengangkat nilai kebangsaan justru dianggap mencampuradukkan api dengan edukasi anak-anak.
Kesimpulan
Munculnya senjata api dalam trailer Merah Putih: One For All memicu kontroversi serius—terutama karena target penonton film ini adalah anak-anak. Meskipun produser telah mengklarifikasi bahwa senjata tersebut adalah properti teater dan bagian dari adegan pentas kemerdekaan, kekeliruan dalam penggunaan aset 3D stok dinilai sebagai blunder produksi. Insiden ini menyoroti pentingnya pengawasan kreatif dan sensitivitas yang mendalam dalam produksi film untuk anak-anak agar konten tetap mendidik dan sesuai konteks.