Worldsbeyondnft.com – DOOM, seri game yang sempat dianggap mati selama hiatus 12 tahun, kini kembali membawa angin segar bagi fansnya. Kesuksesan DOOM (2016) dan DOOM Eternal membuat kemunculan sekuel baru tak terhindarkan. Namun, yang tak terduga adalah arah yang diambil oleh DOOM: The Dark Ages.
Baca Juga: Borderlands 4 Kini Lebih Vertikal, Ini Alasan Minimap Dihilangkan
Fokus pada Narasi Tunggal dan Dunia Abad Pertengahan
Dengan menghapus mode multiplayer dan mengusung pengalaman single-player berbasis cerita, DOOM: The Dark Ages membawa seri ini ke era yang lebih “kuno”. Game ini berfungsi sebagai prekuel DOOM (2016) dan DOOM Eternal, mengisahkan invasi neraka pertama dan asal-usul Doom Slayer. Singkatnya, Makyrs—ras makhluk celestial—pernah menjadikannya senjata budak yang hanya dikerahkan saat diperlukan. Meski narasi bukan prioritas utama seri ini, pengembangan karakter Doom Slayer di sini patut diapresiasi.
Di game sebelumnya, Doom Slayer dikenal sebagai sosok yang satu tujuan: “Bunuh iblis, abaikan sisanya”. Di The Dark Ages, kita melihat lebih dalam masa lalu sang Slayer saat dikendalikan Makyrs selama invasi ke Argent D’nur. Jumlah karakter yang diperkenalkan juga lebih banyak, dengan lore yang disampaikan melalui cutscene dan monolog—bukan sekadar teks di codex.
Gameplay: Kekerasan Klasik dengan Sentuhan Baru
DOOM: The Dark Ages menawarkan kampanye terpanjang dalam seri ini: 22 tahapan dengan variasi aktivitas, mulai dari aksi tembak-tembakan klasik, mengendarai Atlan (mesin perang humanoid raksasa), hingga menunggang naga untuk bertempur. Senjata baru seperti flail (gada berantai) menambahkan nuansa abad pertengahan, sementara gerakan melee untuk mengisi ulang kesehatan dan amunisi tetap dipertahankan. Namun, glory kills tradisional hanya tersedia saat melawan bos—keputusan yang mungkin mengecewakan sebagian pemain.
Dibandingkan DOOM Eternal, gameplay di sini terasa lebih “membumi”, mirip dengan DOOM (2016). Meski ada elemen vertikal, game tidak memaksakan diri menjadi platformer terselubung. Setiap senjata dan kemampuan memiliki peran spesifik, dan bisa ditingkatkan menggunakan currency yang dikumpulkan.
Kritik: Naga yang Kurang Bebas
Meski gameplay secara umum solid, ada satu kelemahan mencolok: naga. Saat menungganginya, gerakan terasa terbatas pada bidang horizontal begitu terkunci pada musuh. Padahal, terbang bebas di luar pertempuran justru menyenangkan. Kontras ini menciptakan disconnect antara ekspektasi dan realitas. Di sisi lain, penggunaan Atlan justru sesuai dengan ritme game yang lebih lambat, meski mungkin kurang memuaskan bagi pencinta aksi cepat.
Eksplorasi dan Estetika yang Memukau
Seperti seri sebelumnya, eksplorasi dihargai dengan rahasia dan codex entries. Desain level yang tidak sepenuhnya linear memungkinkan pemain memilih pendekatan dalam menyelesaikan misi. Visual dan audio game ini juga spektakuler—sesuai standar DOOM di tahun 2025. Dari desain lingkungan hingga riff metal yang menggelegar, semuanya menyatu dalam paket aksi berdarah yang memacu adrenalin.
Kesimpulan
DOOM: The Dark Ages adalah game yang sangat baik. Bagi penggemar genre first-person shooter atau mereka yang ingin merasakan keseruan tanpa risiko tertular penyakit (kecuali mungkin terciprat darah iblis), game ini layak dicoba. Dengan kampanye panjang, senjata mematikan, dan estetika yang memukau, The Dark Ages membuktikan bahwa id Software masih jagoan dalam menciptakan neraka digital yang memikat.
DOOM: The Dark Ages rencananya rilis pada 2025 untuk PC, PlayStation 5, Xbox Series X/S, dan platform lainnya. Siapkan diri untuk kembali menghabisi iblis—dengan gaya abad pertengahan!