Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
BeritaInternet

Riset: AI Justru Membuat Jam Kerja Karyawan Bertambah

32
×

Riset: AI Justru Membuat Jam Kerja Karyawan Bertambah

Sebarkan artikel ini
ai tambah jam kerja karyawan

Kehadiran kecerdasan buatan (AI) selama ini sering dipromosikan sebagai solusi untuk efisiensi dan otomatisasi di tempat kerja. Namun, hasil riset terbaru justru menunjukkan fenomena sebaliknya: alih-alih mengurangi beban, penggunaan AI malah menambah jam kerja karyawan.

Penelitian ini dilakukan oleh tim analis produktivitas global dari Institute for Digital Work (IDW) bersama sejumlah universitas di Amerika Serikat dan Eropa. Mereka meneliti bagaimana adopsi AI di sektor korporasi memengaruhi ritme kerja, beban tugas, dan keseimbangan hidup para pegawai.

AI Tak Selalu Jadi Alat “Pemotong Pekerjaan”

Selama ini, banyak perusahaan mengklaim bahwa penerapan AI bisa membantu memangkas waktu kerja dan meningkatkan efisiensi. Namun, menurut laporan IDW yang diterbitkan pada Oktober 2025, hasilnya tidak sesederhana itu.

Dalam survei yang melibatkan lebih dari 8.000 karyawan dari 12 negara, sekitar 62 persen responden mengaku bekerja lebih lama sejak perusahaan mereka mulai menggunakan AI. Rata-rata jam kerja meningkat antara 1 hingga 3 jam per hari, terutama di posisi yang berkaitan dengan data, administrasi, dan komunikasi digital.

“AI mempercepat alur kerja, tapi di sisi lain membuat ekspektasi manajemen meningkat. Karyawan dituntut menghasilkan lebih banyak dalam waktu yang sama,” jelas Dr. Rachel Lin, peneliti utama IDW.

Beban Baru: “Over-Automation Fatigue”

Fenomena ini oleh para ahli disebut sebagai over-automation fatigue, yakni kondisi ketika otomatisasi berlebihan justru menciptakan tekanan mental dan fisik baru bagi pekerja.

Dalam banyak kasus, AI memang mampu menangani tugas teknis seperti menganalisis data, membuat laporan, atau mengatur jadwal. Namun, hasil kerja AI masih perlu ditinjau, disunting, atau diverifikasi oleh manusia, yang akhirnya menambah pekerjaan tambahan di luar jam kerja normal.

Karyawan juga melaporkan adanya “paradoks efisiensi” semakin cepat tugas diselesaikan, semakin cepat pula mereka menerima beban kerja baru. Sistem perusahaan otomatis menilai produktivitas meningkat, lalu menaikkan target harian secara bertahap.

Tekanan dari “AI Monitoring System”

Selain menambah jam kerja, penggunaan AI dalam manajemen juga memperketat pengawasan digital (AI monitoring). Beberapa perusahaan kini menggunakan sistem analitik berbasis AI untuk menilai performa pegawai secara real-time dari jumlah email yang dikirim, kecepatan balasan, hingga durasi online di platform kerja.

Akibatnya, karyawan merasa seolah-olah “diawasi mesin” setiap saat. Sebanyak 47 persen responden riset IDW menyebut kondisi ini membuat mereka lebih stres dan sulit memutuskan waktu istirahat.

“AI di kantor bukan hanya membantu, tapi juga mengamati. Itu menciptakan tekanan psikologis baru yang belum pernah ada sebelumnya,” ujar Dr. Lin.

AI Mengubah Pola Tanggung Jawab

Di sisi lain, AI juga mengubah struktur kerja tim. Banyak posisi administratif kini beralih fungsi dari “pelaksana tugas” menjadi “pengawas AI.” Artinya, pekerjaan manusia kini lebih banyak berfokus pada pengecekan hasil sistem otomatis ketimbang kreativitas atau inovasi.

Fenomena ini menciptakan beban tanggung jawab ganda karyawan harus memastikan AI tidak membuat kesalahan, namun tetap mengejar target produktivitas yang ditentukan manajemen.

Kondisi serupa terjadi di berbagai industri:

  • Jurnalisme: editor harus memverifikasi konten yang dihasilkan mesin penulis otomatis.
  • Keuangan: analis wajib memeriksa laporan keuangan AI sebelum diserahkan ke klien.
  • Pendidikan: guru harus meninjau hasil evaluasi otomatis dari sistem AI agar tidak terjadi bias.

“Manusia Jadi Mesin Koreksi”

Salah satu temuan menarik dalam riset tersebut adalah pergeseran peran manusia menjadi semacam “mesin koreksi.” Daripada terbantu, banyak karyawan justru menghabiskan waktu lebih banyak memperbaiki hasil AI ketimbang menghasilkan karya baru.

Seorang partisipan penelitian dari perusahaan konsultan di Singapura mengaku,

“Sebelumnya saya butuh 3 jam untuk membuat laporan mingguan. Sekarang AI bisa menyusun draft-nya dalam 15 menit, tapi saya butuh 2 jam lagi untuk memeriksa dan memperbaiki hasil yang tidak akurat.”

Fenomena ini memperlihatkan bahwa AI belum benar-benar mandiri. Kinerjanya sangat bergantung pada pengawasan dan revisi manusia, yang ironisnya justru memperpanjang waktu kerja total.

Produktivitas Naik, Kesehatan Mental Turun

Meskipun efisiensi meningkat di atas kertas, penelitian juga menemukan efek negatif terhadap kesehatan mental karyawan. Lebih dari 55 persen responden mengaku mengalami kelelahan digital (digital burnout), kesulitan tidur, dan menurunnya konsentrasi akibat terus berinteraksi dengan sistem AI.

Sementara itu, 33 persen pekerja kantoran melaporkan bahwa komunikasi dengan rekan kerja manusia justru berkurang karena banyak proses sudah diotomatisasi.
Kondisi ini menimbulkan rasa isolasi dan menurunkan semangat kerja.

“AI membuat kantor lebih cepat, tapi juga lebih sunyi,” tulis laporan IDW.

Faktor Budaya Kerja Jadi Pemicu

Para ahli menilai bahwa permasalahannya bukan pada AI itu sendiri, melainkan pada cara organisasi mengimplementasikannya. Perusahaan sering kali menggunakan teknologi sebagai alat kontrol produktivitas, bukan sebagai alat pendukung kesejahteraan.

Budaya “harus selalu online” membuat batas antara waktu kerja dan waktu pribadi semakin kabur. Akibatnya, karyawan bekerja lebih lama tanpa sadar, sebagian bahkan tetap menerima tugas dari sistem otomatis meski sudah lewat jam kantor.

Dr. Lin menegaskan,

“AI seharusnya menggantikan pekerjaan rutin, bukan menambah tekanan. Jika tidak diatur, otomatisasi justru menciptakan eksploitasi digital yang baru.”

Rekomendasi: Seimbangkan Otomatisasi dan Kemanusiaan

Dalam laporannya, IDW memberikan sejumlah rekomendasi bagi perusahaan agar AI benar-benar bisa membantu tanpa memperburuk kondisi kerja manusia:

  1. Batasi jam kerja berbasis sistem otomatis.
    AI sebaiknya tidak mengirim notifikasi atau tugas baru di luar jam kantor.
  2. Terapkan “AI ethics policy”.
    Kebijakan ini memastikan penggunaan AI tidak mengancam privasi dan kesejahteraan karyawan.
  3. Gunakan AI untuk mendukung, bukan menilai.
    Fokus pada efisiensi tugas, bukan pada pengawasan performa individu.
  4. Berikan pelatihan human-AI collaboration.
    Karyawan perlu dilatih agar bisa berkolaborasi dengan AI, bukan bersaing dengannya.

Kesimpulan

Riset terbaru ini menjadi pengingat penting bahwa kecerdasan buatan bukan jaminan kehidupan kerja yang lebih ringan. Tanpa kebijakan yang manusiawi, AI justru berpotensi memperpanjang jam kerja dan menambah tekanan mental bagi karyawan.

Teknologi seharusnya memerdekakan manusia dari pekerjaan yang melelahkan, bukan menciptakan versi baru dari kelelahan digital.

AI mungkin cepat, efisien, dan pintar, tapi tanpa regulasi dan empati, ia hanya akan mempercepat ritme kerja tanpa memberi ruang bagi keseimbangan hidup.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *